Piala Dunia dan Sebuah Dilema
SULIT membayangkan sebuah Piala Dunia tanpa kehadiran tim nasional Belanda, Jerman, dan Brasil. Pada babak akhir kualifikasi Piala Dunia 2002 beberapa minggu belakangan ini, agaknya kenyataan di atas harus diterima para pecandu bola sejagad. Belanda merupakan tim favorit pertama yang mengucapkan sayonara. Tumbang di tangan Irlandia awal September, mereka lalu masuk kotak dan kehilangan peluang.
Jerman juga terseok-seok. Berawal dari kekalahan 1-5 dari Inggris di Stadion Olimpiade Muenchen hingga seri lawan Finlandia minggu lalu, wajah sepak bola Jerman seakan tercoreng moreng. Sepak bola adalah soal serius di Jerman. Tidak mengherankan, kini setiap hari hampir semua media massa menyoroti peluang Jerman yang semakin tipis. Jerman bisa lolos bila mereka bisa mengalahkan Ukrania di babak playoff pertengahan November mendatang.
Brasil, sang juara empat kali juga tidak mulus melangkah. Walau minggu lalu membenamkan Cili 2-0, posisi mereka masih belum aman. Apabila tanggal 7 November mereka ditaklukkan Bolivia, nasib Brasil juga ditentukan oleh playoff melawan Australia.
Musim ini boleh jadi merupakan musim tersibuk dalam sejarah sepak bola dunia. Seperti halnya, bankir, pengacara maupun ahli bedah, para pemain profesional juga kerap bekerja long hours. Konsekuensinya, mutu permainan cenderung menurun, risiko cedera semakin besar, dan lebih jauh lagi tekanan psikis menjadi berat.
Sejak Liga Champions tumbuh menjadi salah satu arena bergengsi, hidup pemain profesional seperti sebuah serial yang tanpa akhir. Bayern Muenchen bisa menjadi referensi. Sejak akhir Juli lalu, mereka telah memainkan 24 pertandingan resmi. Bandingkan dengan tim nasional Jerman yang cuma lima pertandingan dalam kurun waktu yang sama.
Pemain Bayern yang juga pemain tim nasional, rata-rata bertanding setiap empat hari. Kini, ada semacam ungkapan baru dalam sepak bola Jerman: Englische Woche atau English Week, untuk menggambarkan bahwa dalam satu minggu ada dua pertandingan liga sebagaimana halnya di Inggris.
Tidak mengherankan bila ada saja pemain yang cedera, sebagaimana kiper Oliver Kahn saat melawan Inggris. Juga tidak mengherankan bila pemain terbaik Liga Champions musim lalu adalah Stefan Effenberg tang tidak main di tim nasional Jerman.
Para pemain Brasil juga merasakan hal yang sama, yakni memainkan 18 pertandingan babak kualifikasi Piala Dunia, di luar kompetisi Liga Eropa. Artinya, mereka harus terbang bolak-balik Eropa-Amerika Selatan. Terlebih lagi, mereka memikul beban berat harus meloloskan negaranya yang tidak pernah abesen di Piala Dunia.
Beberapa pemain akhirnya bisa mengukur skala prioritasnya. Alasan utama mengapa Belanda hanya mengantungi satu angka dari dua pertandingan melawan Irlandia, karena konon kabarnya sebagian besar pemain tidak menghendaki main di Piala Dunia. Mereka menyadari, Piala Dunia adalah sebuah turnamen akbar.
Akan tetapi, itu berarti lima minggu mendekam dalam "kamp konsentrasi" sambil menyaksikan televisi asing, tegang mempersiapkan adu penalti, dan menyimpan kelelahan serta cedera di musim berikutnya karena tidak bisa menikmati libur musim panas. Jaap Stam, yang baru berusia 29 tahun, menuturkan kepada Voetball International bahwa dia mempertimbangkan untuk pensiun dari arena internasional lantaran harus sering bepergian ke manca negara.
Bila kita menilik lebih jauh, beberapa tim yang berprestasi baik dan lolos ke Piala Dunia 2002 adalah tim yang prestasinya "biasa-biasa" saja, seperti Paraguay, Portugal, Swedia, Irlandia, atau Polandia. Para pemain tim-tim tersebut mungkin secara teknis tidak terlalu bagus, tetapi yang jelas fisiknya lebih segar. Dari 14 pemain Irlandia yang menekuk Belanda awal September lalu, hanya Roy Keane yang main di Liga Champions. Sebagian besar belum pernah main di Piala Dunia, jadi tentu saja sangat antusias dan masih segar.
Liga Champions telah membuat Piala UEFA, kompetisi liga dan Piala Liga, secara perlahan kehilangan arti. Beberapa tahun silam, Franz Beckenbauer bahkan memprediksi bahwa keberadaan tim nasional juga akan semakin kecil.
Pertandingan persahabatan internasional kini juga makin kurang bergengsi. Hasilnya, kadang kurang bisa jadi parameter. Bagaimana mungkin Perancis bisa kalah? Atau tim Inggris yang menghempaskan Spanyol lalu tersungkur di tangan Belanda beberapa minggu kemudian? Kini, nilai sebuah Liga Champions bahkan mulai melampaui Piala Dunia. Seperti ungkap Luis Figo kepada sebuah stasiun televisi, "Saya menempatkan Liga Champions sejajar dengan Piala Eropa, atau bahkan Piala Dunia."
Hanya tinggal beberapa negara besar yang masih mengagung-agungkan Piala Dunia, dengan berbagai alasan. Para pemain Perancis atau Argentina, misalnya, menunggu-nunggu Piala Dunia karena mereka masih mempunyai keyakinan untuk memenangkannya.
Bagaimanapun juga, selalu ada opportunity cost. Kini jarang ada pemain yang meraih sukses simultan, lewat klub maupun tim nasional. Pemain Perancis kini sedang jatuh cinta dengan tim nasionalnya. Mereka terbang ke Australia, Cile, Aljazair, atau kemana saja untuk sebuah pertandingan persahabatan. Begitu juga para pemain Argentina yang selalu ingin bertemu Brasil, tim yang belum lama ini mereka taklukkan pada kualifikasi Zona Amerika Selatan.
Dalam konteks ini, biasanya klub yang kena batunya. Real Madrid kini mulai ragu dengan kondisi Zinedine Zidane. Pemain kunci Argentina Diego Simeone mengalami cedera parah, membuat Lazio terpuruk di peringkat bawah klasemen Liga Italia.
Padatnya jadwal pertandingan dulu hanya milik pemain Inggris. Pada era 1970 dan 1980-an, mereka main di 42 pertandingan liga utama, dua piala domestik, serta dua piala Eropa. Walhasil, English Week menjadi santapan rutin. Kini, hampir semua negara besar merasakannya. Saat Inggris bertemu Jerman, keduanya sama-sama letih. Konsekuensi lebih jauh, yakni cedera menghantui. Michael Owen kini cedera lagi, Steven Gerrard juga punya problem kronis. Suatu saat, mungkin giliran David Beckham.
Kemungkinan terburuk lain mungkin muncul. Tahun lalu, Emmanuel Petit menyatakan, bila fisik selalu dituntut prima dalam setiap pertandingan, bukan tidak mungkin para pemain mengkonsumsi obat suplemen alias doping.
Piala Dunia sampai saat ini diyakini sebagai kejuaraan terbesar di dunia. Sampai kapan, tidak ada yang tahu. Mungkin selama Piala Dunia mampu menghadirkan permainan berkelas, tentu dengan pemain yang berkelas pula.
sumber : http://www.kompas.com
Jumat, Oktober 12, 2001
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar